Jika selama ini rejeki kita masih itu-itu saja, maka kita harus rajin
bertanya. Apakah saya sudah Dhuha? Apakah saya sudah berbuat baik?
Apakah saya sudah menelpon Ibu? Apakah saya sudah berbagi? dan
seterusnya. Jika ada yang belum, maka segera tunaikan amal-amal
tersebut. Apalagi, jika itu terkait hak Allah sebagai sesembahan kita
atau hak sesama.
Insya Allah, setelah hal-hal tersebut dilaksanakan dengan baik, dan kembali berusaha sesuai upaya yang kita bisa, bi idznillah, rejeki kita akan bertambah..
Pernah, suatu ketika, saya perbanyak istighfar di tengah malam. Karena
memang belum bisa tidur. Alhasil, ketika niat itu dilakukan dengan
sempurna, tepat setelah selesai dan saya beranjak untuk tidur, hand
phone saya berdering. Isinya, orang pesan buku. Jika kita mau main
logika, mana mungkin rejeki diantarkan ketika malam telah menyelimuti?
Bahkan orang yang akan diberi rejeki itu hendak memejamkan mata?
Pernah juga, pagi buta, ada pesan singkat yang masuk. Itu malamnya
biasa, ada ritual. Hehehe. Belum juga genap jam tujuh pagi, ada sms.
bahwa dia sudah selesai melakukan transfer pembayaran. Lagi, jika mau
pakai logika, mana ada rejeki datang ketika orangnya baru mau beranjak
ke kamar mandi untuk berangkat kerja?
Pernah juga, dalam tiga hari, rekening dibanjiri transferan. Hari
pertama, sekitar 10 uang masuk untuk pembelian buku, hari kedua hanya
dua orang tapi nilainya sekitar 1,2 juta, hari ketiga nilainya 700-an
ribu. Jika mau pakai logika, mana ada karyawan dengan transaksi rekening
senilai itu?
Lagi-lagi saya tersadar. Allah itu Maha Kaya. Yang penting kita ibadah.
Lalu usaha. Sudah. Selesai. Allah gak ngantuk, kok. Allah juga tidak
tidur. Mana mungkin Allah salah mengantarkan rejeki? Gak mungkin, kan?!
Satu hal yang perlu diingat, bisa jadi, rejeki yang diberikan ke
rekening kita itu adalah titipan untuk istri kita, anak kita, adik kita,
kakak kita, ataupun ibu dan bapak kita. Bagi lajang, bisa jadi itu
titipan untuk calon istri atau suami kita.
Akhirnya, jangan berharap dibanjiri rejeki atau dihujani karunia, jika
ibadah kita saja bolong-bolong. Lima waktu di injury time, subuh
keduluan sama ayam, Dhuha ogah-ogahan. Jikapun dilaksanakan hanya
formalitas, tidak ada ruhnya. Baca al-Qur'an semau gue, kadang baca tapi
lebih sering gak baca, malah gak nyentuh mushaf sama sekali.
Apalagi tahajud? Enakan nonton bola atau begadang lihat film-film luar
negeri yang keren abis. Ditambahlah dengan silaturahim. Gak pernah sama
sekali, malah lebih asyik berinteraksi dengan dunia maya. Gak pernah
ketemu orang, menyapa sesama, menyalami hangat dan bertanya aneka rupa
kegiatan.
Maka sejatinya, urusan rejeki sangat erat kaitannya dengan dua hal.
Pertama, sejauh mana kedekatan kita dengan Sang Maha Pemberi Rejeki.
Kedua, sejauh mana kebermanfaatan kita untuk orang lain.
Rejeki, bukan hanya uang. Jika ia berbentuk uang, maka parameternya
bukan pada seberapa banyak kita mengumpulkan uang, tapi pada seberapa
banyak yang kita manfaatkan untuk kepentingan sesama. Baik keluarga
dekat, jauh, atau mereka yang membutuhkan, atau mereka yang memang punya
hak atas rejeki yang dititipkan kepada kita. []
sumber :disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar